Dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 2024, Indonesia AIDS Coalition (IAC) bersama dengan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengadakan kegiatan Pertemuan Nasional bertajuk ”Percepatan Menuju Indonesia Bebas AIDS Tahun 2030 dan Indonesia Emas Tahun 2045: Upaya Bersama dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS” di kompleks DPR pada hari Kamis (05/12).
Dalam Pertemuan Nasional tersebut, disampaikan beberapa rekomendasi terkait penanggulangan HIV kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Mengacu pada data Kementerian
Kesehatan per Agustus 2024, dari estimasi 503,261 Orang dengan HIV (ODHIV) di
Indonesia, hanya 70% yang mengetahui status, 62% dari mereka menjalani terapi antiretroviral
(ARV), dan 42% dari yang menjalani pengobatan virusnya tersupresi. Capaian ini
jauh dari target global Triple 95s dan Mengakhiri AIDS pada Tahun 2030,
yang telah menjadi komitmen dari Pemerintah Indonesia.
Demi memastikan bahwa komitmen
tersebut dapat tercapai, sembari mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi
oleh Pemerintah Indonesia, maka terdapat beberapa rekomendasi yang hendak
disampaikan kepada Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni:
1. Pembentukan Badan Percepatan Penanggulangan
Penyakit Menular
Indonesia membutuhkan lembaga independen untuk memperkuat koordinasi dan
sinkronisasi multi-pemangku kepentingan lintas sektor pasca
dibubarkannya Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pada tahun 2017. Aditya
Wardhana, Direktur Eksekutif IAC, menyatakan bahwa, ”Fungsi yang akan
dijalankan tidak hanya sebatas pada sinkronisasi kebijakan untuk penanggulangan
HIV, tetapi juga penyakit menular lain seperti TB; promosi dan komunikasi
kesehatan; pemberian technical assistance dan pembuatan guidelines;
deteksi dini dan kesiapan pandemi;
serta bio-terrorism, seperti
halnya CDC di Amerika Serikat dan
Afrika.”
”Kolaborasi dan mobilisasi adalah kunci untuk mengakhiri epidemi AIDS pada
tahun 2030. Berhasil atau tidaknya hal tersebut bergantung pada upaya
terkoordinir dari semua pemangku kepentingan di semua sektor dalam masyarakat.
Tidak terkecuali ODHIV dan komunitas terdampak,” tambah Aditya, di Jakarta
(05/12).
2. Peningkatan Alokasi Anggaran untuk
Penanggulangan HIV
Mengacu kepada data
dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2022, pendanaan donor masih
menyumbang 32.3% dari total anggaran penanggulangan HIV di Indonesia. Mengingat
tren penurunan
alokasi anggaran dari donor sering dengan suramnya kondisi ekonomi dunia dan meningkatnya status
Indonesia menjadi negara
berpendapat menengah-atas, diperlukan langkah-langkah untuk menjamin
keberlanjutan pendanaan. Salah
satunya adalah mobilisasi dana domestik dengan meningkatkan porsi kontribusi
dana domestik bagi program penanggulangan HIV nasional. Untuk itu, diperlukan komitmen pendanaan dari pemerintah pusat dan
daerah, juga keterlibatan sektor swasta dalam mendukung program pencegahan,
pengobatan, dan dukungan sosial termasuk program berbasis komunitas.
”Penting bagi kita untuk meningkatkan capaian program dan melihat beyond
2030. Berdasarkan skenario Fast Track dengan 178 Distrik Prioritas
dari laporan HIV Investment Case Analysis (ICA) tahun 2024, Indonesia
membutuhkan pendanaan sebesar 39.6 triliun untuk jangka waktu 8 tahun, atau 4.9
triliun per tahun. Untuk itu, diperlukan tambahan anggaran sebesar 117% dari baseline,”
ujar Aditya, di Jakarta (05/12).
3. Ekspansi Alat Screening dan Adopsi Cepat
ARV Generasi Baru
Teknologi kesehatan generasi baru adalah salah satu kunci demi Mengakhiri
AIDS pada tahun 2030. Hal ini mencakup
tidak hanya ARV generasi baru, tetapi juga alat tes mandiri HIV (self-testing
kit/HIV-ST). Penggunaan alat tes mandiri ini direkomendasikan oleh WHO
tidak hanya untuk populasi kunci, tetapi juga kelompok rentan. Indonesia harus
menyediakan berbagai jenis alat tes – baik oral maupun blood-based – secara masif demi mendorong deteksi dini
kasus.
Generasi baru ARV adalah tipe long-acting, yang mana jenis ini tidak
perlu diminum setiap hari, sebagaimana yang saat ini umum dikonsumsi di
Indonesia. Cabotegravir misalnya, diberikan dalam bentuk injeksi setiap 2 bulan
sekali. Sementara Lenacapavir diberikan secara injeksi per 6 bulan, atau 2 kali
setahun.
”Akses ke ARV generasi baru adalah kunci. Jenis long-acting ini lebih
fleksibel dan private, sehingga bisa membantu meningkatkan kepatuhan
pengobatan dan berpotensi mengurangi stigma dan diskriminasi. Menanggapi hasil uji klinis Purpose 1, UNAIDS bahkan mengatakan bahwa
Lenacapavir memiliki potensi untuk membantu mengakhiri epidemi AIDS. Namun,
yang perlu kita garis bawahi adalah hasil tersebut hanya dapat kita capai
apabila ARV generasi baru ini tersedia dengan harga yang terjangkau dan dapat
diakses oleh semua ODHIV yang membutuhkan, tidak terkecuali di Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat melobi perusahaan farmasi pemilik
paten obat LA-ARV ini, agar Indonesia bisa turut menjadi negara produsen obat
ARV jenis long-acting dan bukan hanya sebagai negara konsumen” tegas
Aditya, di Jakarta (05/12).
Monopoli paten membuat harga ARV generasi baru menjadi tidak terjangkau.
Contohnya, Lenacapavir dijual dengan harga
$42,250 per orang per tahun (PPY), atau sekitar 640 juta rupiah. Padahal hasil riset dari Universitas Liverpool memperkirakan bahwa Lenacapavir versi
generik dapat diproduksi secara massal dengan harga $63-$93 PPY, dan bisa turun
menjadi $26-$40 PPY apabila volume produksi mencapai 10 juta. Estimasi tersebut
sudah memperhitungkan margin keuntungan sebesar 30%, dan hanya 0.1% dari harga yang dijual saat ini. Perbedaan harga yang mencolok ini
menegaskan bahwa harga Lenacapavir saat ini sangat tidak masuk akal, dan
pentingnya mendorong produksi generik yang lebih terjangkau.
“Monopoli tidak berdasar terhadap obat-obatan esensial tidak boleh
dibiarkan,” ujar Aditya, di Jakarta (05/12). “Kita tidak boleh
membiarkan kondisi ini terus berlanjut. Cabotegavir dan Lenacapavir memiliki
potensi besar untuk mengakhiri epidemi AIDS jika dapat diakses oleh semua yang
membutuhkan, bukan hanya mereka yang mampu membayar. Semakin lama akses publik
ditunda, maka akan semakin banyak kasus infeksi baru atau bahkan kematian
akibat AIDS di dunia. ARV generasi baru harus tersedia secara cepat, berkelanjutan,
dalam jumlah yang cukup, juga dengan harga terjangkau bagi semua ODHIV dan
populasi rentan. Pilihan ada di tangan pemerintahan Pak Prabowo. Akan membawa
Indonesia menjadi negara kunci sebagai produsen obat ARV jenis long-acting
atau berdiam diri dan puas dengan membiarkan Indonesia menjadi negara
konsumen.”
Mengakhiri AIDS bukan hanya sebatas pada isu kesehatan, tetapi juga
komitmen politik. Pemerintah harus memastikan bahwa penanggulangan HIV masuk
dalam prioritas strategi kesehatan nasional. Anggaran yang memadai, kebijakan
yang menudukung, serta keterlibatan multi-sektor adalah kunci untuk mencapai
target ini. Sejalan dengan tema Hari AIDS Sedunia tahun ini, “Kesehatan Saya,
Hak Saya”, pemerintah harus menjamin hak atas kesehatan yang inklusif dan
setara bagi semua. Mengakhiri AIDS pada 2030 bukanlah hal mustahil, selama terdapat
komitmen politik, juga dukungan anggaran dan kebijakan yang memadai. Pilihan
ada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo.
Dalam kegiatan Pertemuan Nasional ini, perwakilan dari Komisi IX DPR RI, drg.
Putih Sari menyampaikan komitmen dari Komisi IX DPR untuk mendukung percepatan upaya
mencapai target Mengakhiri AIDS pada Tahun 2030 di Indonesia. Beberapa poin
yang menjadi atensi adalah penguatan kelembagaan, harmonisasi antara kebijakan
di tingkat pusat dan daerah, dan adopsi ARV long-acting di Indonesia.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES