Jakarta, ForumJabar.com–Isu perebutan 4 pulau antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) rupanya sudah terjadi sejak tahun 2008.
Isu pengalilhan 4 pulau dari Pemprov Aceh kepada Pemprov Sumut menyeruak kembali setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Keputusan Kemendagri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Keputusan ini ditetapkan pada 25 April 2025 yang isinya tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Sontak saja keputusan ini menuai protes dari Pemprov dan warga Aceh. Bahkan warganet juga ikut meramaikan isu di media sosial dengan beragam komentar.
Kronologi
Lalu bagaimana sebenarnya kronologi ‘rebutan’ 4 pulau ini bermula? Redaksi ForumJabar mendapatkan informasi bahwa saling klaim antara Pemprov Aceh dan Sumut ini sudah terjadi sejak tahun 2008 atau di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ke-4 pulau yang sama-sama diklaim tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Tokong Hiu.
Pulau-pulau ini berada di sebelah Barat Sumatera, atau berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Lokasinya memang cukup strategis, kabarnya di lokasi ini kaya akan potensi laut termasuk minyak dan gas bumi.
Alhasil kedua provinsi ini pun ngotot saling klaim. Menurut versi Pemprov Aceh, pada tahun 1965 ada warga yang memiliki surat tanah di pulau-pulau tersebut.
Lalu pada tahun 1987, berdasarkan Peta TNI AD pulau-pulau itu tertulis masuk wilayah Provinsi Aceh. Bukti selanjutnya, pada tahun 2007 warga Aceh juga sudah mendiami pulau-pulau itu, bahkan mereka membangun musholla, dermaga, serta fasilitas lainnya.
Masalah muncul pada tahun 2008 tatkala Kementerian Dalam Negeri melakukan pendataan administrasi pulau-pulau di seluruh Indonesia.
Pemprov Aceh tidak mendaftarkan keempat pulau tersebut, sementara Pemprov Sumut mendaftarkannya. Alasan Pemprov Sumut, lokasinya memang lebih dekat dengan daratan Sumut daripada dengan daratan Aceh.
Saat verifikasi, Kemendagri pun menyatakan empat pulau itu masuk wilayah administratif Sumut. Sehingga Pemprov Sumut pun langsung memasukannya dalam dokumen resmi pemerintah provinsi.
hal berbeda justru dilakukan Pemprov Aceh, Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, tidak memasukan keempat pulau itu ke dalam dokumen administratifnya.
Pemprov Aceh berubah sikap
Sejak verifikasi ini selesai, maka persoalan pun dianggap selesai. Akan tetapi, pada 2017, Irwandi Yusuf merevisi keputusannya. Ia mengirimkan surat bernomor No. 136/40430 tertanggal 15 November 2017 kepada Kemendagri.
Surat tersebut menegaskan bahwa Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Tokong Hiu tersebut masih wilayah Pemprov Aceh.
Mellihat demikian, Pemprov Sumut juga melakukan hal serupa. Mereka mengirimkan surat yang intinya menolak klaim Pemprov Aceh. Dari sinilah kemudian konflik ‘perebutan’ empat pulau dimulai.
Akhirnya, Mendagri Tjahjo Kumolo turun tangan. Thahjo membentuk tim verifikasi ulang dengan melibatkan TNI AL, BIG (peta & batas wilayah), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Polhukam.
Tim ini juga melibatkan Gubernur Aceh serta Gubernur Sumut. Mereka mengadakan rapat dan pembahasan mengenai status kepemilikan kempat pulau tersebut.
Hasilnya, tim ini menyatakan status 4 pulau itu masuk wilayah Sumut berdasarkan data verifikasi tahun 2008.
Pada tahun 2022 Kemendagri kembali melakukan pendataan ulang administratif pulau-pulau di seluruh Indonesia dimana Mendagri Tito Karnavia menetapkan SK No. 050-145/100.1.1-6117 Tahun 2022 yang menyatakan 4 pulau itu masuk dalam wilayah Sumut.
Kemudian pada April 2025, Mendagri membuat keputusan final dengan menerbitkan SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Isi keputusannya menyebutkan, “Menetapkan bahwa Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Hiu adalah bagian dari Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah).”
Meski keputusan itu telah terbit, Tito menyatakan terbuka jika Pemprov Aceh menggugatnya dengan mengajukan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Bahkan Tito bersedia duduk bersama dengan para pemangku kepentingan, yakni Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut untuk menyelesaikan persoalan ini.