Penulis : Yayat Suratmo
Bekasi, ForumJabar.com–Oleh masyarakat sekitar, Saung Ranggon diyakini merupakan bangunan pertama yang berdiri di wilayah Cikarang, bahkan dianggap sebagai hunian pertama di Kabupaten Bekasi.
Ada dua indikasi yang dapat menguatkan keyakinan ini. Pertama, tarikh penemuan Saung Ranggon ini tertulis tahun 1821. Kenapa disebut penemuan. bukan pembuatan?
Berdasarkan laman resmi Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, Saung Ranggon ditemukan oleh Raden Abbas pada 1821. Sementara kapan bangunana ini didirikan atau dibangun, tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas, bangunan ini ditemukan pada tahun 1821 atau pada permulaan abad ke-19. Dalam literatur lainnya, Saung Ranggon konon dibangun oleh Pangeran Jayakarta sebagai tempat persembunyian dari kejaran VOC.
Jika ditarik mundur, masa hidup Pangeran Jayakarta adalah sekitar 1500-an, maka bangunan Saung Ranggon sudah berdiri sejak abad ke-16.
Indikasi kedua adalah soal letak Saung Ranggon yang berada di Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat. Bisa dipastikan, saat Raden Abbas menemukan bangunan ini tahun 1821, maka wilayah Bekasi terutama Cikarang Barat, saat itu masih berupa hutan belantara.
Sementara jika merujuk sejarah perkembangan Kerajaan Tarumanegara, disebutkan bahwa pemukiman kerajaan tersebut cenderung berkembang di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang bermuara di ujung Karawang berbatasan dengan Bekasi.
Ini artinya, rumah-rumah penduduk pada masa itu lebih banyak berada di aliran sungai, sementara wilayah belakangnya merupakan hutan.
Letak Saung Ranggon sendiri berada jauh dari aliran Sungai Citarum yang kini tersambung dengan Sungai Kalimalang di ujung wilayah Cikarang.
Sehingga dapat dipastikan pada masa itu, wilayah sekitar Saung Ranggon betul-betul masih hutan lebat dan jauh dari aliran sungai Citarum.
Dengan indikasi demikian, maka kesimpulan bahwa Saung Ranggon merupakan bangunan pertama di Bekasi, bisa jadi benar adanya.
Saung Ranggon berada di Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat, dengan keletakan pada 107º 0′.204″ BT dan 06º 20′ 298″ LS , serta ketinggian 61 di atas permukaan air laut.
Desa Cikedokan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum (angkot) jurusan Cikedokan Setu. Lokasi Kampung Cikedokan memang agak terpencil dari kampung-kampung lainnya. Cikedokan, dikatakan berasal dari kata “Ci” yang artinya bening, dan “Kedok” berarti nyamar.
Jadi Cikedokan mempunyai arti penyamaran, hal ini disebabkan karena karuhun-karuhun yang datang ke Cikedokan adalah mereka-mereka yang sedang menyamar, karena dikejar-kejar Belanda.
Saung Ranggon menurut kuncen Bapak Tholib, dibangun kira-kira pada abad-16, oleh Pangeran Rangga, putra Pangeran Jayakarta, yang datang dan kemudian menetap di daerah ini. Saung ini kemudian terkenal dengan sebutan Saung Ranggon, ditemukan oleh Raden Abbas tahun 1821.
Dalam bahasa Sunda saung berarti saung/rumah yang berada di tengah ladang atau huma berfungsi sebagai tempat menunggu padi atau tanaman palawija lainnya yang sebentar lagi akan dipanen. Biasanya saung dibuat dengan ketinggian di atas ketinggian 3 atau 4 meter di atas permukaan tanah.
Hal ini diperlukan untuk menjaga keselamatan bagi si penunggu dari gangguan hewan buas, seperti babi hutan, harimau dan binatang buas lainnya.
Pangeran Jayakarta merupakan tokoh dalam sejarah Betawi, khususnya Jakarta dan Bekasi pada masa kedatangan Belanda yang mencoba menanamkan kekuasaan atas daerah Jakarta dan Bekasi dan sekitarnya. Saung ini merupakan bagian dari basis perlawanan masyarakat Bekasi terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Saung Rangon berdiri di atas tanah seluas 500 m², dengan ukuran bangunan seluas 7,6 m x 7, 2 m dan tinggi bangunan dari permukaan tanah 2,5 m.
Bentuk Saung Ranggon adalah rumah panggung, menghadap ke arah selatan ditandai dengan penempatan tangga pintu utama dengan 7 buah anak tangga untuk masuk ke dalam rumah tersebut.
Bagian dalam Saung Ranggon hanya merupakan ruangan terbuka dan tanpa sekat pemisah antara ruangan, walaupun ada sebuah kamar; Bentuk atap Julang Ngapak (atap yang terdiri dari dua bidang miring) dengan penutupnya dari sirap kayu; dinding terbuat dari papan dan tidak mempunyai jendela, dan pada dinding terdapat bukaan selebar 30 cm yang ada di sebelah kiri dan kanan dengan cara dinding bawah agak masuk ke dalam.
Sedangkan dinding atas berada di luar menempel langsung pada langit-langit kemungkinan disengaja sebagai ventilasi, ada juga bagian dinding yang terbuat dari bilik(bambu); rangka dan tiang-tiang terbuat dari kayu; bagian bawah bangunan (kolong bangunan) terdapat tempat penyimpanan benda-benda pusaka yang dibentuk menyerupai sumur (sekarang dibentuk lantai); Sedangkan sekeliling bangunan telah diberi pagar besi setinggi 1,20 m.
Saung Ranggon yang tampak sekarang, merupakan hasil renovasi-renovasi sebelumnya, namun menurut pengakuan kuncen (Juru Pelihara) tetap memperhatikan dalam penggantian bahan dan tetap memelihara pelestarian bangunan kuno ini. Masyarakat Cikedokan beranggapan bahwa yang membangun Saung Ranggon adalah cikal bakal mereka, sehingga keberadaanya Saung Ranggon sangat dihormati dan dipelihara dengan baik.
Tujuan dari pembuatan Saung Ranggon pertama-tama adalah tempat menyepi dan bersembunyi dari kejaran pihak Belanda. Tapi di kemudian hari fungsi Saung Ranggon itu menjadi tempat menyimpan berbagai benda pusaka, dan yang lebh unik lagi bahwa Saung Ranggon kini menjadi tempat ziarah orang-oarng yang memerlukan ”bantuan” dalam menghadapi kenyataan hidup.
Tujuan orang berziarah tersebut bermacam-macam, mulai dari keinginan untuk keselamatan, naik pangkat atau untuk meminta berkah karena akan melakukan hajatan di rumahnya. Orang-orang yang datang ke Saung Ranggon bukan saja masyarakat setempat tetapi ada yang dari luar Bekasi.
Pantangan yang ada apabila memasuki Saung Ranggon ini adalah tidak boleh mengucapkan kata-kata yang kasar atau ”sompral”. Saung Ranggon tidak ditempati secara khusus oleh kuncen tetapi dipergunakan sebagai tempat menyepi bagi orang yang datang (tamu) untuk minta berkah atau karomah.
Ramainya Saung Ranggon oleh pengunjung pada waktu-waktu tertentu terutama malam Jumat Kliwon, Sabtu Suro, Maulid Nabi, Rajaban. Ritual yang dilakukan untuk karuhun dipimpin oleh kuncen Bapak Tholib dengan memakai sarana untuk sesajen yaitu bunga-bunga dan buah-buahan yang terdiri 7 macam yang dipersembahkan untuk para karuhun dengan memanjatkan doa.
Pada setiap bulan Maulid (Hijriah) dilakukan hajat ”Maulidan”, dengan melakukan cuci pusaka dan dilanjutkan dengan hiburan jaipongan (Sunda Bekasi) dan wayang kulit khas dari Bekasi (dengan budaya Betawi). Kegiatan hajat budaya (cuci pusaka dan maulidan) dilakukan di halaman rumah Tradisional Saung Ranggon dapat dijadikan sebagai daya tarik bila dikembangkan sebagai objek wisata budaya.